Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Sulawesi Barat

Sabtu, 27 Maret 2010

Arif Agus Beege'h


Adalah seorang laki-laki, lahir 22 November 1980. Dia berasal dari kota Sukamaju,Masamba. Sekarang berdomisi disebuah kota bernama Mamuju.

Air Mata Menusuk

Rindu
Renda
Reda
Resah

Gelisah
saat kabar burung berkicau di pundakku
pikul bakul tanpa beban
jelajah rindu saat hujan reda
renda kisah gores kenangan
apa kau tak merasa rinai air mata merindu
resah tak kunjungtiba
mengais sejarah abadikan diri

aku geram padamu
tulikah matamu
bisukah batinmu
atau luka hatimu masih menganga
hingga tak peduli kerinduanku
beribu mata menyapa tak henti
mengulur sabda tuk keselamatan

saudaraku
lihatlah dengan mata telanjang
berapa banyak pedang patimura di sakumu
sudah cukupkah sehingga mengabaikanku
atau beda warna bajuku tak laku dijual
tuk membayar buku mawar dan penjara

sedihku
kasianku
tapi ingatlah satu hal
dunia maya pelukan satelit yang kurindu
jika kau tak bersedih
maka virus rindu menemukan jejak roda aladhin
ini bukan ancaman hingga kau tak sanggup menemukanku lagi
dalam air mata kau selalu mengalir

Bakengke Sul-Bar,23/03/2010

HADIAH HATI UNTUKMU

merah merona pipimu
saat kumenatapmu dan ada harapan di sana
akankah dikau mengingatku saat kau baru terjaga menyambut mentari pagi
rambut hitam lagammu ibarat putri mayang terurai
adakah kau jaga aku dikalbumu dan kau abadikan dalam sukmamu

dingin dan bekunya salju abadi di puncak papua
namun aku tak pernah berharap kebekuan hatimu untukku
yang kumau ketulusan hati menerima aku apa adanya

andai tetesan embun mampu kutampung
maka akan kubawakan untukmu sebagai persembahan kesejukan cinta yang kutawarkan
aku memang tak bisa membawamu mendaki gunung himalaya
namun aku jamin rinduku lebih tinggi dari himalaya

akan kuberikan hatiku yang lapang
untuk kau tebarkan semua rasa dan hasrat yAang kau miliki
untukku walaupun tak seluas samudra
asa kan kutangguk tuk mengayuh kehidupan
kelenggangan surga dikalbumu

Tarailu Sul-Bar,16/01/2010

Senin, 22 Maret 2010

Muhammad Syariat Tajuddin



Muhammad Syariat Tajuddin, Pimpinan Teater Flamboyant Mandar beberapa tulisannya termuat dalam buku, Membaca Mandar Hari Ini dalam Jejak Alegori Budaya (Mammesa Press, 2004), Siwaliparri dalam Perspektif Pemberdayaan Perempuan (Mammesa Press dan Balaniva Publishing Yogyakarta, 2006). Juga ikut menulis Buku Kumpulan Esai Musik Puisi dari Istilah ke Aksi (LKiS Yogyakarta, 2005).


Ingatan Senggama dan Tadarrus Cinta

mengendarai motor warisan ayah
menyusur angin yang dingin,
mendayung perahu menyisir gelombang.
rindu suara tarhim yang dilagukan lodspeaker
di surau kampung bersama cericit burung manyar
dendangkan kecapi malam.

tiba-tiba kuingat percintaan kita
di menara surau seusai subuh yang dingin.
saat itu telkunmu menjadi alas sujud percintaan kita,
ditingkahi gemuruh suara beduk dalam dada.
sebuah percintaan yang sakral tanpa aba-aba.
dan tatkala itu, kita hampir memastikan tuhan
mulai merestui senggama kita.

sebuah percintaan sebagaimana catatan
dalam kitab-kitab moral yang dikumandangkan
para khatib di pengajian.
membuat kita kian melesat
dalam gemuruh nafas patah dan satu-satu.

celaka katamu, saat kakimu mengejang
dan menyenggol kitab rajam yang hampir
saja tuntas kita baca pada malam
penghujung ramadhan.

dengan pelan aku mengangkat pahamu,
setelah kukecup tiga kali bersama mantra tetuah kita.
“aku telah siap abang, kendarailah kuda liar ini sesuka hatimu. tariklah tali kekangnya,” katamu seraya mengawasi tiap degup jantungku yang menempel
di dada lancipmu yang basah oleh keringat.

dan pada saat itulah
kita menenggak tandas sakral cinta,
di ruas ruangmu dan di sebilah pusaka
yang saling mengajari kita untuk tidak
sekedar terjerembab pada mimpi basah.

tetapi kini cinta kita disekap kurung kurawal,
mungkin pula abadi di sebuah alinea roman picisan
yang mulai alfa dalam ingatan kita.
setelah kita tak lagi pandai menyanyikan
tadarrus cinta yang sakral sebagaimana dulu.

Tinambung, 11 Oktober 2009

Lelaki Jelang Lebaran

keroklah punggung lelaki malam berkaos oblong
yang pulang dalam capai tak terbantahkan
besok pagi ia akan mandi di sumur bor berkarat
dengan merah bekas kerokan di setiap centi tubuhnya
siang harinya ia akan kembali berangkat
berkejaran dengan waktu yang ligat
menumpang sepeda rental menuju malam berikutnya
dan akan pulang ke gubuknya tanpa neon dan meteran
perapian dini hari segera akan berasapkan doa
membangunkan si kecil untuk sahur dengan basmalah
sedang lelaki itu akan kembali mendengkur
ditubuhnya merah sisa kerokan telah berubah memar
besok pagi ia akan mandi di sumur bor berkarat
dengan kain basahan penutup tubuh
“tak enak, jika si kecil menyaksikan memar
bekas timpukan batu dan hantaman broti.”
dikamarnya jam bekas bergerak pelan
empat hari lagi ramadhan akan beranjak
air matanya pelan menetes
siang hari, langkahnya tersandung ragu
Mandar, 16 September 2009

Sajak dari Sebuah Losmen di Pinggir Kota

kita telah selesai mengemasi luka dan cinta malam tadi,
dan sepertinya pagi ini engkau akan kembali berkemas menuju terminal malam berikutnya.
kulihat di ranselmu terselip sarung yang sobek dan sebilah belati pertikaian kita dengan beribu gemintang dan kunang-kunang.
aku tahu,
pagi ini perjalananmu akan kian panjang,
sepanjang sajak perjalanan yang engkau bacakan tadi subuh. mendahului kibasan sayap ayam tetangga losmen tempat kita menguraikan malam.
suatu ketika nanti,
kepadamu akan kukirim sepucuk surat yang berisi
harapanku kepadamu, bahwa sebelum cinta engkau telantarkan seorang diri di kamar losmen sikatlah gigimu

Mandar, 12 09 2009

Sentakan

telah terurai sejarah, layaknya cacing mengurai tanah
melulu seperti itu
sejak dulu, memang begitu
yah, tetap saja seperti itu
sehingga kita harus tertumbuk pada jalan yang tak kunjung usai
tak beranjak, tak pula beringsut
kangenlah yang selalu mengingatkan akan sebuah kehilangan
menyergap sepi dalam kesendirian
menegaskan kata yang tak bermakna
seperti langkah yang tak pasti dan sempoyongan
sampai hari ini, luka kembali kita sayat-sayat
sebab teriakanpun tak lagi bisa menampung kelukaan yang tak pasti
kesurupan namun juga tak pasti, apalagi bernilai
rindu, kangen,
lalu pelan dan pasti kita berangkulan, bertubrukan
jatuh dan tersuruk dalam sepi

Makassar, 27 November 2000

Pada Dingin Kita Keramas

telah lama kukenal kamu dari cerita dan berita
telah lama kumimpi kamu dari ilusi dan pengharapan
tetapi kali ini kita berkenalan di usai rinai panjang malam yang binal
yah, ditengah gemuruh cekikikan pengunjung menggeser gemericik airmu
diantara selimut dinginmu yang menyulamku dan membetot sukma
embun kabutmu membuat mataku berjelaga dalam gamang tak karuang
pada pundak dan dingin malammu kembali kukorek-korek
senggama, luka-lukaku yang memang tak pernah berujung
menggigil benar malam ini dalam senyum sumringah para pecinta
seusai mengoyak kegadisan dan keluguan
yang juga berarti mengoyak luka
sebagai perilaku para pendosa

Malino, 25 November 2000


Kecupan Yang Kepagian

tak tahu berawal dari mana
tak tahu akan berankhir dimana
karena satu kamu telah hadir
kita satu dalam atmosphere ketidak tahuan
kita pecah dalam ektasy ketidak mengertian
dan kita hanya bisa memaknai dengan segenap rasa dan nurani
seperti kais dan laila, seperti sampek dan engtai, seperi romeo dan yuliette
para dewa bersiul mafhum
para pecinta mulai menggelandang
para pemikir mulai menganalisa
kita nikmati saja hari ini, macam bumi yang setia dicucup akar tetumbuhan
luka, luka, luka, luka, luka, luka
selamat pagi cinta dan nuraniku
selamat malam duhai naluriku
ayo kita gelitik rasa ini
sembari menterjemahkan sajak-sajak kahlil gibran dan mahfudz
biar kita sibak tabir dengan kegamangan

Makassar, 28 September 2000

Ada Apa Gadis Bangsa

kuintip matahari yang mulai menguning pertanda bakal terlelap
di sela pohon kapuk dan daun pisang
sebentar tampak, sebentar hilang
di sebuah pondokan tak lebih
suara parau cekikikan anak bangsa berkelaminkan perempuan
panas siang tadi, pada sumur yang keruh dan mengering
kepada bantal berkepinding pengganjal pantat sang gadis bangsa
dalam lenguh ketika keenakan oleh gelitik teman se fakultas
malam merambat datang, matahari lenyap ditelan lautan
sang gadis menyeka keringat, mari kita tidur kakanda
dekap daku seperti diktat baru mendekap ilmu dan penalaran
sebentar lagi subuh, sudah itu kita bangun
masuk kampus melahap buku, seraya berteriak selamat pagi indonesia

Makassar, 27 September 2000

Kabar Sebuah Negeri Yang Biadab

atas nama hukum, penangkapan dimulai
atas nama hukum, berita acara diketik
atas nama hukum anak bangsa di gelandang ke kerangkeng
tetapi, atas nama apa orang di jewer
tetapi, atas nama apa orang ditendang
tetapi, atas nama apa orang ditumbuk
tetapi, atas nama apa orang dijotos
tetapi, atas nama apa orang diinjak
tetapi, atas nama apa orang dipukuli
ketika interogasi dilangsungkan ?
jidat berdarah hukum bernanah
mata rabun menatap hukum ataukah penjajahan
hak asasi dinilai dengan sepatu lars
wibawa dimaknai dengan selipan duit di lengan baju
lugu atau biadabkah wajah kita ?
silahkan tuan jawab, itupun kalau tuan tidak malu

Kandeapi,16 September 2000